Udah lah, kalo lu lebih memilih cewek itu, mending lu pergi sekarang
juga! Biar gue yang tetep berada disini.” tegas Galih dengan nada keras
dengan meunjukkan tangannya kearah luar pintu ruang Kenanga tempat
Farihin dirawat. Saat itu aku benar-benar diambang kebingungan. Bak
memakan buah simalakama, entah mana yang harus saya utamakan. Antara
sahabat, atau kah cinta.
Aku sangat mencintai Lisa, dia satu-satunya wanita yang benar-benar
bisa ngertiin keadaan aku. Ku akui, semua kesalahanku, setiap Lisa
membutuhkan aku di sampingnya, selalu saja berbenturan dengan janji yang
sudah ku sanggupi dengan kedua sahabat karibku, Galih dan Farihin.
Dahulu kami selalu berempat. Satu teman kami harus meninggal akibat
penyakit kanker yang dideritanya. Dia Deny. Dan Lisa pun bisa mengerti
itu. Sampai akhirnya Lisa benar-benar diambang batas kesabaran. Dia tak
bisa lagi menahan amarahnya atas sikap ku yang lebih mementingkan
sahabat-sahabat ku ketimbang dirinya. Tepat di hari jadi kami yang ke
dua tahun, itu pun bertepatan dengan hari kelulusan kami dari SMA. Kami
sudah berjanji untuk mendaki gunung bersama di hari itu. Dan aku pun
lupa dengan hari jadian ku. Sejam, dua jam, sampai tiga jam Lisa
menunggu ku di kafe tempat pertama kali kami bertemu. Disediakannya kue
tart berukuran sedang dengan lilin berangka 2 di atasnya. Sampai dini
hari, Faisal pun belum datang. kekecewaan Lisa teramat besar, meluaplah
air matanya. Bukan ditiup lilin yang bertengger di kue ulang tahunnya,
tapi malah ia jatuhkan dengan penuh rasa kekesalan.
“Lih, pinjem hape lu dong, hape gue mati nih dari kemaren”, ucapku
sambil membuka casing hape BB ku. Dan ketika hape ku hidupkan, berentet
sms Lisa yang masuk menanyakan keberadaan ku. Sambil menepuk kepala aku
berkata” Astaga gue lupa, kemaren hari jadian gue dengan Lisa, mati
gue.” “udah lah gak papa, Lisa juga bakal ngerti kok.” Ucap Galih dengan
nada santai. “Cepet pulang yuk, gak tenag nih pikiran gue”. Desakku
kepada kedua teman ku yang masih sibuk dengan makanan mereka
masing-masing. Dan karena aku terus mendesak, akhirnya pagi itu juga
kami langsung turun dari gunung.
“Sal pelan-pelan dong bawa motornya, gue gak berani kebut-kebutan
nih” teriak Farihin sembari mengejar ketertinggalannya. Dan Braaaaakkk,
tabrakan tak dapat dihindari. Farihin yang waktu itu mengendarai motor
sendiri menabrak mobil berlawanan arah yang juga melaju kencang. Darah
berceceran dimana-mana, hampir 500 meter Farihin terpental. “Yang kuat
Hin, lu pasti kuat” bisik Galih sambil menangis sembari terus memegangi
tangan farihin di dalam mobil ambulan”.
Sudah 2 jam Farihin di dalam, tapi belum juga ada kabar dari dokter
tentang keadaannya. Kami bertiga terus merasakan ketegangan
berharap-harap cemas dengan keadaan Farihin di dalam, sesekali Galih
melongok ke arah tempat Farihin di operasi. Ketika nampak seorang dokter
keluar dari ruangan kami langsung menghampirinya.” Bagaiman keadaan
teman saya dok?” tanya Galih dengan nada cemas. “Alhamdulillah, untung
saja teman kalian segera dibawa kemari. Dan kini dia bisa langsung
dibawa ke ruang rawat” jawab dokter sembari tersenyum.
Mungkin masih dalam pengaruh obat bius, sampai jam 18:00 WIB Farihin
belum juga sadar. Bergetar hape di saku celanaku. Segera ku ambil hape,
dan ternyata sms dari Lisa “malam ini aku bakal terbang ke Inggris buat
nerusin study ku, kalo’ kamu ingin mempertahankan hubungan kita, ku
tunggu kamu di bandara tepat jam 20:00 WIB”. “guys, boleh gue pergi ke
rumah Lisa?” tanyaku dengan nada sedikit memelas. “Sempet-sempet nya lu
ya mikirin urusan pribadi, lu gak liat apa Farihin belum juga sadar”.
Sambut Galih menanggapi permintaan ku. “bukan gitu Lih, ini menyangkut
hubungan gue dengan Lisa, please, gue mohon banget pengertian dari lu”.
sekali lagi aku memohon. “Udah lah, kalo lu lebih memilih cewek itu,
Biar gue yang tetep berada disini, tapi inget, jangan sekali-kali lagi
lu tunjukin batang idung lu di hadapan kita! mending lu pergi sekarang
juga!” tegas Galih dengan nada keras sambil meunjukkan tangannya ke
arah luar pintu ruang Kenanga tempat Farihin dirawat. Saat itu aku
benar-benar di ambang kebingungan. Bak memakan buah simalakama, entah
mana yang harus saya utamakan. Antara sahabat, atau kah cinta. “maaf
Lis, aku gak tau apa yang harus aku lakuin saat ini, aku bingung, aku
gak tau harus berbuat apa, sekali lagi maaf Lis, aku masih aja mentingin
temen-temen ku”. Batin ku dalam hati. “Udah cukup satu teman kita yang
pergi niggalin kita sal, gue gak mau ada lagi orang yang gue sayang
pergi dari kehidupan gue”. isak Galih sambil mendekap kedua lututnya.
“Iya Lih, gue ngerti, gue minta maaf, gue bakal disini juga buat nemenin
Farihin sampai dia sadar.”
Sudah terpatri dalam hidup ku sebuah kalimat dari ayah, “Jangan
sekali-kali tinggalin orang-orang yang kamu sayang hanya demi orang yang
kamu cinta sal, karena sewaktu-waktu orang yang kamu cinta akan
ninggalin kamu demi orang-orang yang dia sayang”. Memang untuk saat ini
hanya rasa cinta yang baru bisa ku beri untuk Lisa. aku belum bisa
ngegabungin kasih dan cinta dari Lisa sebagai bentuk sayang. Bagi ku,
sayang itu ada di atas cinta. Setiap orang yang aku sayang, mereka lah
orang-orang yang ku cinta. Tapi gak semua orang yang ku cinta, dengan
gitu aja aku beri rasa sayang. Dan Farihin, galih serta Deny adalah
termasuk orang yang aku sayang. Akhirnya demi nama persahabatan,
kuputuskan untuk tetep berada di rumah sakit menemani Farihin sampai dia
sadar. Dan ku harap untuk ini, Lisa masih bisa ngertiin keadaan ku.
“tega’ lu sal”. Ucap Lisa yang langsung menuju ke pesawat. Dengan terus
berderaian air mata Lisa terus melaju.
Setelah seminggu di rawat, akhirnya Farihin pun diperbolehkan untuk
pulang. “Sakit dodol!” teriak Farihin sambil menimpal tangan Galih yang
tak sengaja memegang perban yang berbalut di tangannya. “iya sih, ah lu
ne hin, gak sakit gak sehat marah-marah aja terus.” Ejek Galih sambil
tersenyum meledek. “Tau gak hin, pas lu masuk rumah sakit, gue takut lu
bakal ninggalin kita sama kayak Deny” ucap Galih sambil memampang muka
melasnya. “iya bro, gue gak mau lagi kehilangan seseorang yang gue
sayang. Lu orang terlalu berarti buat gue.” Sambut aku sambil memegang
pundak Farihin. “terus gimana hubungan lu dengan Lisa sal?” tanya
Farihin sambil menatap wajahku. Sejenak gue tersenyum lalu berkata,
“awalnya gue diputusin, dan Lisa sekarang udah di Inggris, tapi pas gue
jelasin keadaan gue waktu itu, syukur dia mau ngerti”.
Sahabat, orang dimana yang selalu hadir dalam setiap hidup ku.
Memberi power yang sangat kuat ketika semua mulai melemah. Memberi tawa
yang mulia ketika kesulitan merendahkan semuanya. Sahabat adalah orang
kedua yang berperan penting dalam hidupku. Dan kali ini, akan kujaga
persahabatan ini sampai kapan pun. You are the best in my life